Gambar orang mancing di atas persis spt kehidupan para losser di forex: mau santai2 dpt duit, tapi lihat...
Yg pertama trading di tahan wkt sdg loss.
Yg kedua profit sedikit2 diambil.

Kedua kebiasaan itu ilusi yang akan menghasilkan cara trading yang loss. Sikap yang benar seharusnya adalah: quick cut loss & let the profit run. Sewaktu merencanakan entry kita sudah tahu dimana kita akan cut loss, dan itu harus ditaati. Sedangkan profitnya tdk usah kita pikirkan, krn begitu arah kita benar maka kita tahan/hold posisi open kita selama mungkin dg memasang SL yg digeser2. Tidak penting berapa kali kita menang, yang penting waktu kalah kita lossnya terbatas dan waktu menang profitnya buanyakkk.
Klik gambar di bawah ini utk melihat bgm seharusnya kehidupan kita sbg pendekar forex
You can be FREE.
You can live and work anywhere in the world.
You can be independent of routine and not answer to anybody.
This is the life of a successful trader

A road diverged in a wood and I took the one less traveled by. And that has made all the difference

Filosofi Pasar Modal

Beberapa waktu lalu saya mendapat surat elektronik (e-mail) dari seorang konsultan keuangan (lihat artikel di bawah). Menarik, karena e-mail tersebut datang dari seorang konsultan keuangan yang beraktivitas di pasar modal.
Judul e-mail tersebut adalah Philisophy of the Stock Market atau Filisofi Pasar Saham. Isinya begini: Sekali peristiwa di sebuah desa, muncullah seorang tuan yang mengumumkan kepada para penghuni desa bahwa dia akan membeli monyet dengan harga 10 Ringgit per ekor. Para penghuni desa yang melihat banyak monyet di hutan bersegera keluar dan mulai menangkap monyet-monyet itu.

Tuan itu membeli beribu-ribu ekor monyet dengan harga 10 Ringgit. Ketika persediaan monyet mulai menurun dan para penghuni desa mulai menghentikan usaha mereka, dia mengumumkan bahwa sekarang dia akan membeli monyet pada harga 20 Ringgit per ekor. Para penghuni desa tergerak, dan mereka mulai menangkap monyet lagi. Persediaan monyet pun semakin menurun dan mereka kembali ke kebun.

Harga penawaran kemudian dinaikkan menjadi 25 Ringgit per ekor. Karena persediaan monyet sedemikian langka maka diperlukan upaya lebih keras dari sebelumnya. Tak berapa lama Tuan itu mengumumkan bahwa dia akan membeli monyet pada harga 50 Ringgit per ekor. Tapi berhubung dia harus ke kota untuk urusan bisnis, maka asistennya yang diserahi tugas untuk kepentingannya.

Ketika Tuan itu sudah pergi, asisten itu berkata kepada para penghuni desa: "Lihatlah monyet-monyet di kandang besar yang telah dikumpulkan oleh Tuan. Saya akan menjual monyet-monyet kepada Anda seharga 35 Ringgit per ekor, dan ketika Tuan kembali, Anda bisa menjual kepadanya dengan harga 50 Ringgit per ekor."

Terjadilah antre panjang para penghuni desa untuk membeli monyet dengan seluruh tabungan yang ada pada mereka. Ternyata setelah itu, baik asisten maupun Tuan lenyap tak berbekas, sementara monyet-monyet ada di mana-mana!


Persepsi Jadi Realitas
Persepsi menjadi kenyataan (perception becomes reality) adalah ungkapan paling tepat untuk menggambarkan kisah tersebut di atas. Kisah di atas bisa mewakili apa yang sering terjadi di pasar modal.

Belum lama ini pasar modal kita dihebohkan dengan kasus gagal bayar antarpialang atas transaksi suatu saham dengan nilai lebih dari Rp 200 miliar. Dalam hitungan bulan, harga saham ini bergerak spektakuler, dari di bawah Rp100 menjadi di atas Rp 4.000. Nilai transaksi yang terjadi setiap hari pun tidak tanggung-tanggung, pernah mencapai di atas Rp 1 triliun.

Para pelaku pasar pun berdecak dan senang. Tapi tidak sedikit juga yang cemas. Mereka senang, karena dengan pergerakan harga yang naik luar biasa mereka akan memperoleh keuntungan yang substansial. Namun, mereka cemas kalau-kalau harga keburu turun sementara mereka belum sempat menjual kembali apa yang telah mereka beli pada harga tinggi. Cemas karena mereka tahu bahwa penurunan harga, cepat atau lambat tetap akan terjadi, namun kapan persisnya, semuanya tak bisa memperkirakan.

Apa yang dicemaskan kemudian benar-benar terjadi. Harga saham menukik tajam sampai suspensi oleh Otoritas Bursa pada level sekitar Rp 2.000. Ada yang memang meraup untung karena sempat menjual di atas harga beli, tapi ada juga yang rugi besar, karena telanjur membeli pada harga tinggi dan belum sempat menjual kembali.

"Penggorengan" Saham
Ada istilah yang populer di pasar modal kita yakni saham gorengan, dengan pelakunya disebut penggoreng saham atau tukang goreng saham. Menarik, bukan?

Ternyata bukan hanya pisang yang bisa digoreng, saham pun bisa. Artinya saham bisa diberi "bumbu" dengan berbagai informasi menarik dan menjanjikan untuk menciptakan persepsi bahwa saham itu memang bagus dan banyak peminat.

Lalu harga semakin naik seiring naiknya permintaan dan turunnya persediaan. Setelah harga naik tinggi, penggoreng saham mulai menjual sahamnya pada harga tinggi tersebut. Akibatnya, pasar mulai dibanjiri saham tersebut dan harga mulai turun drastis. Dalam hal ini penggoreng saham tidak bekerja sendiri, melainkan memiliki kaki-tangan yang membantunya. Mirip cerita monyet di atas, bukan?

Goreng -menggoreng saham sering terjadi di pasar modal kita. Itulah yang sering memberi kesan bahwa pasar modal merupakan tempat berjudi. Sayangnya, istilah 'main saham' yang telanjur lumrah ini memberi konotasi negatif atas suatu aktivitas investasi keuangan.

Lalu, apakah memang demikian cermin pasar saham yang seharusnya? Jawabannya, tentu saja tidak. Contoh di atas menggambarkan penyimpangan pada aktivitas pasar modal yang bermartabat.

Hakikatnya, investasi pada saham suatu perusahaan memungkinkan sang investor memiliki perusahaan tersebut dan berpartisipasi dalam pertumbuhan perusahaan yang dipilihnya itu. Investor saham mendapat bagian keuntungan dari perusahaan tersebut dalam bentuk dividen. Investor juga mendapat keuntungan dalam bentuk capital gain, yaitu apresiasi harga pasar terhadap harga beli. Kenaikan harga saham ditopang oleh faktor fundamental antara lain kinerja keuangan perusahaan yang solid dan pertumbuhan perusahaan yang menjanjikan, bukan karena "digoreng" oleh tukang goreng!

Mestinya inilah filosofi investasi di pasar saham, yaitu partisipasi sebagai pemegang saham lalu mendapatkan keuntungan bersih perusahaan dalam bentuk dividen dan apresiasi harga saham dalam bentuk capital gain, dan sebaliknya, turut menanggung kerugian perusahaan (tidak ada dividen) dan capital loss akibat penurunan harga saham.

Pasar Bermartabat
Nafsu mengambil untung secara tidak wajar dengan mencelakakan orang lain menandakan tiadanya etika dalam praktik bisnis. Bercermin dari cerita monyet di atas, siapakah yang menikmati keuntungan, sebaliknya, siapakah yang mengalami nasib naas? Kisah monyet tersebut di atas jelas menggambarkan bahwa si Tuan dengan kaki-tangannya si asisten mendapat untung besar, sementara para penghuni desa mendapat rugi besar.

Sahabat saya sering heran kalau saya meminta mereka untuk berhati-hati berinvestasi di pasar saham. Menurut mereka, sebagai praktisi yang turut mempromosikan dan memajukan pasar modal di Indonesia, saya mestinya mendorong mereka menyisihkan sebagian tabungan untuk investasi di pasar saham.

Betul, memajukan pasar modal adalah sebuah kewajiban profesional yang melekat, tapi menjauhkan pasar modal dari praktik penggorengan saham dalam rangka penciptaan harga semu, adalah sebuah kepedulian yang tak bisa saya hindari.

Alangkah bermartabatnya kalau pasar saham bebas dari praktik manipulasi harga lewat penciptaan harga semu. Betapa mulianya jika pasar saham bersih dan berwibawa, dan jauh dari stigma "tempat berjudi". Hanya dengan demikian masyarakat pemodal dapat beraktivitas dengan aman dan nyaman. Semoga!

Buku Tamu

This blog is dedicated to Forex Trader.
Please come back and visit often
as it will be updated on a regular basis
regarding various topics about Fx Trading
fosamax litigation